Lobotomy adalah prosedur bedah kontroversial yang digunakan dalam psikologi klinis pada pertengahan abad ke-20 untuk menangani gangguan mental berat. Prosedur ini melibatkan pemutusan atau pengangkatan bagian dari lobus frontal otak dengan tujuan mengurangi gejala psikiatri seperti kecemasan, depresi, dan agresi. Namun, lobotomy kemudian dikritik karena efek sampingnya yang merusak dan kurangnya dasar ilmiah yang kuat.
Sejarah Lobotomy dalam Psikologi
Lobotomy pertama kali diperkenalkan oleh dokter Portugis António Egas Moniz pada tahun 1935 dan berkembang luas setelah dipopulerkan oleh Walter Freeman di Amerika Serikat. Awalnya, lobotomy dianggap sebagai solusi untuk mengobati gangguan mental yang sulit dikendalikan dengan metode lain, terutama sebelum era pengobatan farmakologis modern.
Freeman mengembangkan teknik transorbital lobotomy, di mana alat mirip paku es dimasukkan melalui rongga mata untuk memutus koneksi saraf di otak tanpa membuka tengkorak. Teknik ini menjadi populer karena prosedurnya yang cepat dan dapat dilakukan tanpa fasilitas bedah yang kompleks.
Lobotomy dalam Psikologi Klinis
Pada masanya, lobotomy digunakan sebagai terapi untuk:
- Skizofrenia – untuk mengurangi halusinasi dan delusi.
- Depresi berat dan gangguan kecemasan – dianggap dapat menenangkan pasien yang mengalami gangguan emosional ekstrem.
- Gangguan obsesif-kompulsif (OCD) parah – digunakan untuk mengurangi dorongan obsesif yang tidak terkendali.
- Gangguan perilaku dan agresi ekstrem – diterapkan pada individu yang dianggap berbahaya atau sulit dikendalikan.
Namun, karena keterbatasan pemahaman neurologi pada saat itu, lobotomy sering dilakukan tanpa seleksi pasien yang ketat, menyebabkan banyak pasien mengalami perubahan kepribadian yang drastis.
Dampak Psikologis dan Efek Samping
Banyak pasien yang menjalani lobotomy mengalami dampak negatif jangka panjang, antara lain:
- Kehilangan emosi dan motivasi (apatia psikologis)
- Penurunan fungsi kognitif dan daya pikir logis
- Gangguan dalam pengambilan keputusan dan kontrol diri
- Perubahan kepribadian yang drastis
- Ketergantungan seumur hidup pada perawatan medis dan pengawasan
Alih-alih menyembuhkan gangguan mental, lobotomy sering kali membuat pasien menjadi pasif dan tidak responsif terhadap lingkungan mereka.
Akhir dari Lobotomy dalam Psikologi
Pada tahun 1950-an, penggunaan lobotomy mulai menurun drastis setelah ditemukannya obat-obatan psikotropika seperti klorpromazin, yang memberikan alternatif non-bedah yang lebih efektif dalam menangani gangguan mental. Selain itu, kesadaran etika medis semakin meningkat, dan penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa lobotomy tidak memiliki manfaat yang sebanding dengan risikonya.
Akhirnya, lobotomy dihentikan dan dilarang di banyak negara. Saat ini, pendekatan psikologi klinis lebih mengutamakan terapi kognitif, terapi perilaku, serta pengobatan farmakologis yang lebih aman dan berbasis bukti ilmiah.
Kesimpulan
Lobotomy pernah menjadi prosedur psikologi yang dianggap revolusioner, tetapi dampak psikologis dan etisnya membuat metode ini akhirnya ditinggalkan. Kemajuan dalam psikologi dan psikiatri telah menghasilkan metode yang lebih aman dan efektif untuk menangani gangguan mental tanpa harus merusak struktur otak secara permanen.